Guru dan Orangtua BRENGSEK

23 oktober 2016 minggu pagi yang dari pagi diguyur hujan kecil

Hasil gambar untuk celana olahraga model joggerGuru inspiratif  merupakan guru yang mampu memberdayakan siswanya, saya tergelitik dengan kalimat di atas, karena tanpa arahan dan batasan yang jelas tentang “inspiratif” saya merasa sudah inspiratif dengan gaya potongan rambut saya yang cepak rapi dibalut pomade waterbase, menggunakan baju indies nike dipadankan dengan training model jogger sepatut dengan sepatu nike nya (jangan salah semua barang yang saya sebutkan semua KW hehehe, baju endors dari teman yang konfeksi, celana produk gasibu pasar tumpah di bandung, nike made in vietnam pabrikan tanggerang , nah kalo pomade asli). Saya merasa profil saya menginsipasi siswa saya untuk juga tampil rapih, modis dan kekinian.

Menurut kamus besar bahasa indonesia, insiparsi adalah ilham, hal yang mendatangkan pelbagai bentuk kegiatan kreatif manusia, karena ilham tadi atau inspirasi menjadi pendorong atau pencerahan dalam pikirannya. Pikiran yang diterangi tadi mendorong orang yang bersangkutan menghasilkan banyak karya kreatif.
Hasil gambar untuk cover buku mendidik pemenang bukan pecundang

        Saya menemukan tulisan yang sangat menarik yang akan saya bagikan melalui blog saya tentang guru inspiratif yang mungkin juga orang tua inspiratif karena disini bagi saya mengaju pada orang yang inspiratif apapun profesi dan kedudukannya. Buku yang saya baca berjudul mendidik Pemenang bukan Pecundang karya Dhitta Puti Sarasvati ( Dosen Sampoerna University) dan J Sumardianta (guru SMA Kolose De Britto dan penulis ). Dalam salah satu tulisannya dikatakan “ Murid zaman digital itu lebih membutuhkan kearifan ketimbang pengetahuan. Lebih memerlukan guru inspiratif ketimbang guru kurikulum. Pengetahuan bisa digali murid sendiri di Wikipedia atau Google”  keren... saya langsung setuju. Guru disebut gagal bila tidak menghasilkan output perubahan pada murid, perubahan yang positif tentunya, perubahan pola pikir, perubahan karakter, perubahan kemampuan. Apalagi bila murid malah berubah menjadi pendendam, pemarah, takut wah itu namany gagal total. Saya guru, selama ini saya maunya mengubah, tetapi enggan berubah.

          Menurut saya pendapat di atas berlaku juga bagi kita para orang tua, jadilah orang tua inspiratif. Menghadapi putra putri di jaman digital berarti kita  orang tua jangan pasif, jangan seratus persen mempercayakan putra putri kita kepada gadget (medsos, games, searching), tapi  gedget yang merupakan sumber jendela pada dunia luar dapat membantu kita para orang tua berkomunikasi dengan anak –anak kita, faktanya kita memang sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan anak-anak kita, bekerja merupakan sebuah bentuk tanggung jawab kita selalu  orang tua. Saya tidaklah terlalu setuju bila pekerjaan orang tua dijadikan sumber permasalahan buruknya sikap, nilai atau apapun pada anak-anak kita. Orang tuanya sibuk jadi dia anak beby siter, dia suka membully temannya, terang saja karena kurang perhatian dari ortunya, kedua ortunya sibuk. Dan berbagai statement lain yang dihubungkan dengan orang tuanya.
Disini  saya ingin menggaris bawahi bahwa yang salah bukanlah karir atau pekerjaan orang tua, tapi bagaimanan orang tua mampu memanage kualitas waktu bersama anak, kualitas pembicaraan dengan anak, kualitas perhatian terhadap anak, kualitas sentuhan, kualitas sikap terhadap anak. It’s i called the management qulity time. Bukan dengan banyaknya waktu bersama (kuantitas) tapi menit berharga saat kebersamaan.

Orangtua dan guru inspiratif akan mampu mengontrol diri untuk melihat “anda,kamu,kalian” yang nantinya akan berkolaborasi menjadi “kita, kami”, bukan memelihara sudut pandang “aku,saya”. Diperlukan kerendahan hati, dan cara berfikir yang selalu positif.
Dalam buku mendidik Pemenang bukan Pecundang dikatakan: “Masalah terbesar dunia pendidikan persekolahan adalah anak-anak diajari hidup di atmosfer benar atau salah”, ini yang membuat orangtua akhirnya meneruskan paradigma ini, atau bisa juga paradigma ini berasal dari keluarga yang mengimbas kebijakan sekolah, atau juga karena kebiasaan sistem pendidikan jaman kolonial dulu yang sudah melekat dan menjadi paradigma pendidikan kita, entahlah...
Di sekolah anak disebut cerdas bila bisa menjawab benar, terkadang benar itu haruslah sesuai dengan yang dimaksud guru, melakkan kesalahan dalam konteks sekolah tradisional berarti bodoh. Kebanyakan rekan guru dan orangtua menutup diri terhdap gagasan bersebrangan, padahal melatih anak untuk memiliki kemampuan melihat dunia dari sebanyak mungkin sisi dan prespektif adalah bekal yang paling berharga ketimbang bekal sederet angka yang bernama nilai. Mereka seharusnya diperbolehkan melakukan sebanyak mungkin kesalahan agar mereka belajar dari kesalahan.
Jadilah guru atau orang tua yang BRENGSEK kata Dhitta Puti dan J Sumardianta, yaitu guru atau orang tua yang :
B = baik
R = respek
E = energik
N = nyaman
G = gokil
S = Strong
E = elegan
K = kalem
Postingan berikut akan saya jabarkan bagaimana cara menjadi BRENGSEK...

Komentar

  1. Udah kaget baca judulnya, ternyata isi nya sesuatu yg positif. Ditunggu postingan selanjutnya

    BalasHapus
  2. Udah kaget baca judulnya, ternyata isi nya sesuatu yg positif. Ditunggu postingan selanjutnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PembaTIK 2024

Berjaya di Tanah Legenda Lampaui Keterbatasan